Amaliah Pasca Ramadhan

SETELAH bulan Ramadhan berlalu, semua amaliah khas Ramadhan –mulai puasa, sholat tarawih, hingga i’tikaf memburu malam seribu bulan, serta zakat fitrah– kita tinggalkan. Idulfitri menutup semua amaliah Ramadhan dengan keyakinan kita kembali pada fitrah, baik fitrah dalam pengertian futhur (berbuka) atau tidak puasa lagi, maupun dalam pengertian fitrah manusia yang bersih, suci, tanpa dosa, dan hanief (cenderung pada kebenaran) serta berjiwa tauhid.

Pertanyaannya, bagaimana amaliah pasca Ramadhan hingga bertemu lagi dengan Ramadhan berikutnya –jika Allah memberi kita panjang umur?

Secara syariat, amaliah akhir Ramadhan antara lain (1) mengeluarkan Zakat Fitrah sebelum hari Idulfitri, (2) takbiran pada malam Idulfitri, (3) mengisi Hari Raya Idulfitri dengan Sholat Id di lapangan terbuka, (5) banyak sedekah kepada fakir-miskin sebagaimana dicontohkan Rosulullah Saw, dan (6) Puasa Enam hari di bulan Syawal untuk menyempurnakan shaum Ramadhan.

Zakat Fitrah dimaksudkan untuk menyempurnakan ibadah shaum, selain memberi pelajaran bagi kita untuk mengasihi fakir-miskin, berbagi rezeki dengan sesama, agar kita gemar bersedekah dan tidak tamak (rakus).

Takbiran memberi pelajaran agar kita senantiasa membesaran asma Allah, sepanjang hayat kita. Hanya Dia Yang Mahabesar dan harus ditaati. Sholat Id di lapangan terbuka memberi pelajaran agar kita berbaur dengan sesama (hablum mimannas), menjalin silaturahmi dengan sesama, berbagi kegembiraan bersama.

Puasa enam hari bulan Syawal –biasa disebut “nyawalan”, adalah penyempurna shaum Ramadhan. Seperti diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis, kecuali Bukhari dan Nasa’i, dari Abu Aiyub al-Anshari, Roasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan diiringinya dengan enam hari bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah berpuasa sepanjang masa.”

Secara adat atau tradisi umat Islam Indonesia, amaliah pasca Ramadhan antara lain (1) bermaaf-maafan, (2) Halal Bihalal atau silaturahim, dan (3) mudik ke kampung halaman.
Maaf-Memaafkan

Saling bermaafan adalah tradisi luhur paling populer dalam suasana Idulfitri. Semua orang membuka pintu maaf dan tanpa ragu meminta maaf kepada siapa pun yang ditemui. Ungkapan khasnya adalah “Mohon maaf lahir dan batin”.

Meminta maaf dan memaafkan adalah perintah Allah Swt agar terjalin kehidupan yang tenang dan harmonis antarsesama manusia. Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab, Al-Quran antara lain menggunakan kata insân untuk menunjuk kepada manusia. Kata ini, menurut sementara pakar bahasa, terambil dari kata uns yang berarti “senang”  atau “hubungan harmonis”, sehingga dapat dipahami bahwa manusia, pada dasarnya, selalu merasa senang, atau seharusnya demikian, saat bertemu dengan sesama manusia, serta memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antara sesama.

Populer juga pandangan yang menyatakan bahwa kata insân terambil dari akar kata nisyân yang berarti lupa. Allah menganugerahi manusia sifat lupa, antara lain, agar dia dapat melupakan kesalahan orang lain atau kesedihan yang dialaminya.

Terganggunya hubungan harmonis terjadi akibat dosa atau kesalahpahaman. Akan tetapi, manusia akan kembali ke harmonisan pada saat manusia menyadari kesalahannya,  dan berusaha mendekat kepada orang yang pernah dia lukai hatinya. Dari sini, Islam mensyariatkan upaya maaf-memaafkan.

Memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas kekesalan yang ada di dada, atau mengeluarkan apa yang terdapat dalam dada dari kesalahan orang lain, sehingga hilang dari ingatan.

Bahkan, menurut M. Quraish Shihab, dalam Al-Quran tidak ditemukan satu ayat pun yang menggunakan kata yang menunjuk kepada permintaan maaf kepada sesama manusia. Yang ada hanyalah perintah untuk memberi maaf, Hendaklah mereka  memberi maaf dan melapangkan dada, tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah?” (QS. An-Nuur  [24]: 22).

Kesan yang ditimbulkan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk tidak menanti  permohonan maaf dari orang yang bersalah, tetapi hendaknya memberinya sebelum diminta. Ketika Misthah yang diberi bantuan oleh Abubakar r.a. menyebarluaskan issu negatif terhadap Aisyah, isteri Nabi dan putri Abubakar, sang ayah bersumpah untuk tidak  membantunya lagi. Sikapnya ini ditegur oleh firman Allah QS. Al-Nûr: 22 tadi.

Memaafkan berarti mengundang ampunan Allah Swt. Karena itu, mereka yang enggan memberi maaf, pada hakikatnya, enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt. dan karena itu pula tidak dikenal dalam kamus agama ungkapan, “Tiada maaf bagimu”.

Ada juga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada ”maaf plus”, yakni kata Al-shafh. Kata ini, dalam berbagai bentuknya, terulang di dalam Al-Quran sebanyak delapan kali. Ia, pada mulanya, berarti “lapang”. Halaman dalam sebuah buku atau ruangan, dinamai shafhah karena kelapangan dan keluasannya. Dari sini, al-shafh diartikan “kelapangan dada”. Berjabat tangan dinamai mushâfahah karena dia merupakan perlambang kelapangan dada orang-orang yang berjabatan tangan itu.

Dari delapan kali bentuk kata al-shafh yang dikemukakan Al-Quran itu, empat di antaranya didahulu oleh perintah memberi maaf. Perhatikan ayat-ayat berikut:

Apabila kamu memaafkan, melapangkan dada serta melindungi, maka sesungguhnya Allah Maha  Pengampun  lagi Maha Penyayang” (QS Al-Taqhâbun [64]: 14).

Maafkanlah mereka dan lapangkan dada, sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya)” (QS. Al-Ma‘idah [5]: 13). Baca juga QS Al-Baqarah (2): 109, dan Al-Nûr (24): 22.

Dengan al-shafh seseorang dituntut untuk membuka lembaran baru  sehingga hubungan  tidak ternodai sedikit pun, tidak kusut, dan tidak seperti halaman yang  telah dihapus kesalahannya itu. Mushafahah (jabat tangan) adalah lambang kesediaan  seseorang untuk membuka lembaran baru dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama yang, walaupun telah dihapus kesalahannya, mungkin sedikit kekusutannya masih ada.

Memaafkan adalah salah satu ciri orang bertakwa. Yang mampu menahan amarah dan memaafkan manusia (yang bersalah). Allah menyenangi orang-orang muhsin (yang berbuat baik)” (QS Âli ‘Imrân:134).

Rasullulah Saw memberikan bimbingan, “Carilah alasan untuk memaafkan saudaramu walau hingga 70 alasan.” Seorang murid bertanya kepada gurunya, Imam Hasan Al-Basri, “Mengapa Rasullah menyuruh kita mencari 70 alasan untuk memaafkan?”. Jawab Hasan Basri, “Itu menunjukkan pentingnya memaafkan. Sebelum kita sampai pada 70 alasan kita belum bisa memaafkan, kita harus bersedih karena memiliki hati sekeras batu.”

Halal Bihalal
Dalam suasana Idulfitri, prosesi maaf-memaafkan biasa dilakukan dalam acara yang disebut Halal Bihalal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, maaf-memaafkan sama arti dengan Halal Bihalal.

Istilah Halal Bihalal sendiri bukan dari Al-Quran atau Hadits, bahkan bukan pula berasal dari negeri Arab. Halal Bihalal adalah khas Indonesia. Mungkin hanya orang Indonesia yang memahami makna Halal bihalal ini.

Halalbihalal sering diartikan dengan ”saling menghalalkan” atau ”saling membebaskan”. Intinya, saling memaafkan kesalahan. Sebenarnya, Halal bihalal tidak usah dibatasi waktunya pada saat Idul Fitri, tetapi setiap saat serta menyangkut segala aktivitas manusia. Walaupun harus diakui, bahwa acara maaf-memaafkan sangat sesuai dengan hakikat Idul Fitri.

M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an (1992) memberi catatan, tujuan hahal bihalal adalah menciptakan keharmonisan antara sesama. Kata “halal” biasanya dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah  sesuatu yang terlarang  sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan  mengundang siksa. Sementara halal adalah sesuatu  yang diperbolehkan dan  tidak mengundang dosa.

Jika demikian, kata pakar tafsir alumnus Universitas Al-Azhar Kairo ini, halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram  dan berakibat dosa,  menjadi halal dengan jalan mohon maaf.  Bentuknya (halal bihalal) memang khas  Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.

Halal bihalal merupakan suatu bentuk aktifitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang  kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali,  melepaskan ikata yang  membelenggi, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghalang terjalinnya keharmonisan hubungan.

Silaturahmi
Maaf-memaafkan dan hahal bihahal hakikatnya adalah silaturahmi atau silaturrahim (shilah al-rahim). Silaturahim terdiri dari kata shilah –yang terambil dari akar kata washala yang berarti menyambung– dan ar-rahim yang pada mulanya berasal dari nama Allah, lalu diberikannya kepada makhluk untuk menunjuk pada sesuatu yang  menjadi penyebab kasih-sayang, yakni “rahim/peranakan”.

Walaupun dalam Al-Quran tidak terdapat istilah shilaturrahim, namun ada sekian ayat yang mengisyaratkan pentingnya memelihara shilaturrahim, seperti QS Al-Nisâ’ (4): 1.

Bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain (dan peliharalah hubungan) rahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Di samping perintah di atas, ada juga ayat yang mengecam orang-orang yang  memutuskannya, seperti:

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya pula mata mereka” (QS Muhammad [47]: 22-23).

Mudik
Kuatnya dorongan dan tradisi maaf-memaafkan, hahal bihahal, dan silaturahim dalam susana Idulfitri atau pasca Ramadhan, menimbulkan tradisi yang lainnya, yakni mudik. Hakikatnya, mudik adalah menjalin silaturahmi dengan orangtua, sanak-saudara, kerabat, atau kawan-kawan di tempat asal (kampung halaman). Mudik seolah menjadi sesuatu yang wajib dalam suasana Idulfitri.

Secara bahasa, “mudik” artinya “menuju udik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), “udik” antara lain berarti desa, dusun, kampung (lawan kota). Karena itu, orang juga biasa memakai ungkapan “pulang kampung”.

Jika ditelaah lebih dalam, ada makna yang sangat mendalam dari mudik ini, yakni “kembali ke asal” dalam pengertian kembali kepada fitrah –cenderung pada kebenaran (hanief) dan bersih dari dosa sebagaimana asalnya manusia (bayi).

Secara psikologis, “udik” (kampung halaman) adalah tempat, ruang dan waktu yang masih murni, bersih, belum dikotori oleh polusi peradaban kota. Ketika kita mudik, kita akan merasakan kedamaian suasana udik, kampung halaman asal kita, jauh dari “kejamnya” kehidupan di kota. Kota adalah tempat kerja, mencari uang, mengejar cita-cita duniawi, berupa kekayaan ataupun popularitas dan jabatan. Ketika semua diperoleh, “udik” memanggilnya untuk memberikan kedamaian dan ketenangan.

Tradisi mudik adalah khas Indonesia. Ia merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yang tidak dijumpai di negara lain. Bahkan, inilah mobilisasi penduduk yang diperkirakan terbesar di dunia. Tahun ini, diperkirakan jumlah pemudik akan mencapai 15 juta orang!

Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dalam bukunya Sedang Tuhan pun Cemburu (1994) menulis, orang beramai-ramai mudik itu sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.

Menurut Cak Nun, orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan: komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak-ibu, alam semesta, berpangkal (atau berujung) di Allah melalui runtutan akar historisnya. Kesadaran semacam itu tampak dari mereka (para pemudik) yang berusaha untuk sedapat mungkin berada di tengah-tengah keluarga dan sanak kerabat tatkala Idulfitri tiba untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan, serta menunaikan kewajiban membayar zakat di kampung halamannya.



Memelihara Fitrah

Setelah bermaaf-maafan, hahal bihahal, silaturahmi, bahkan berjuang untuk mudik, idealnya keadaan diri kita kembali kembali suci, bersih, dan kembali pada fitrah sebagai manusia beriman, berjiwa tauhid, hanya mengabdikan diri pada Allah Swt.

Lalu, apakah setelah itu kita mengikuti “arus balik”, berupa kembali kepad kehidupan yang kotor, hanya mengejar dunia, dan melupakan semangat ibadah yang begitu menggebu selama bulan Ramadhan? Tentu idealnya tidak demikian. Harusnya, atmosfer Ramadhan dapat kita pertahanan.

Imam Syafi’i pernah berpesan, “Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru, tetapi dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah”.

Pasca Ramadhan adalah lembaran baru kehidupan sebagai orang yang bertakwa –sebagaimana tujuan puasa Ramadhan adalah menjadi orang bertakwa. Jika selama Ramadan di rumah kita terdengar ayat-ayat suci Alquran yang dibaca oleh seisi rumah, maka suasana itu mestinya terus dapat dipertahankan.

Jika kita sudah kembali ke fitrah (idulfitri), berarti kita berjiwa tauhid yang selalu cenderung pada kebenaran Ilahi (hanief). Jiwa tauhid melahirkan semangat ibadah, dakwa, dan jihad untuk menegakkan syariat Islam dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Ringkasnya, kembali pada fitrah, berarti kembali pada syariat Islam. Wallahu a’lam. (Abu Faiz/ddhongkong.org).*

0 Comments